SANTRI MENJAWAB TUDUHAN PENSESATAN
ATAS ULAMA ASY’ARIYAH
Bismillaah...Alhamdulillaah...Sholaatuhu wa salaamuhu ‘alaa Rosulillaah wa ‘alaa aalihi wa ashhabihi ajma’iin (wa b’adu).
Imam Abu Ishaq al-Syairozy rh dalam kitabnya yang berjudul “al-Isyaaroh ilaa Madzhabi Ahlil-haq” mengutip sebuah hadits Nabi saw yang maknanya sbb: “Apabila kalangan akhir umat ini telah melaknat para pendahulunya, maka hendaklah orang yang berilmu menampakan ilmunya, sungguh orang yang menyembunyikan ilmu bagaikan orang yang menyembunyikan sesuatu yang telah Alloh swt turunkan atas Muhammad saw”...Atas dasar inilah kami bermaksud sekedar menyambung lidah para ulama Asy’ariyah yang saat ini mereka sering dituduh ber-‘aqidah sesat oleh saudara muslim kita yang lain.
Lalu siapakah gerangan ulama Asy’ariyah itu?, seperti apakah ciri-ciri mereka?...Kami yakin sebagian besar diantara kita pernah belajar dan menghafal Sifat-sifat 20 yang wajib dan yang mustahil bagi Alloh swt, sifat-sifat 4 yang wajib dan yang mustahil bagi para Rosul ‘alaihimussalaam (ams) dan 1 sifat Jaiz (wenang) bagi Alloh swt dan para Rosul ams, menghafal 25 nama para Nabi dan Rosul, 10 nama para Malaikat, nama putra-putri Rosululloh saw dll...itulah diantara kaidah-kaidah/rumusan yang diperkenalkan oleh para ulama Asy’ariyah yang bersumber dari al-Quran maupun Hadits dengan tujuan untuk mempermudah kalangan awam dalam mengenal Alloh swt dan para Rosul-Nya. Namun betapa kagetnya kami ketika membaca artikel-artikel yang banyak sekali bertebaran di dunia maya yang menyatakan secara terang-terangan pensesatannya atas kelompok ulama ini serta mensejajarkannya dengan kelompok-kelompok sesat semacam Khowarij, M’utazilah, Qodariyah, Jabariyah dan lain-lain. Diantara alasan-yang sejauh ini kami ketahui-dan sering mereka lontarkan bahwa ulama Asy’ariyah sesat oleh karena:
- Asy’ariyah telah menetapkan dan membatasi sifat-sifat Alloh swt hanya menjadi 20
- Mereka telah malakukan takwil terhadap ayat-ayat/hadits yang mutasyabihaat
- Karena mereka lebih mendahulukan akal dari pada wahyu
Berikut ini adalah jawaban dari kami:
1). Untuk menjawab tuduhan pertama, kami menggunakan referensi standard yang biasa dipelajari para santri junior di pondok2 pesantren NU khususnya-yang secara tegas dari awal berdirinya hingga saat ini menyatakan ber’aqidah dengan ‘aqidah Asy’ariyyah/Maturidiyyah-diantaranya adalah: Kitab “al-Durrul-Fariid fii ‘Aqooidi Ahlittauhiid” karya syaikh Ahmad al-Nahrowy rh yang disyarahi oleh syaikh Nawawy al-Bantany rh dengan judul “Fathul-Majiid”. Dari kitab ini kami mendapati penjelasan mereka berdua ketika mulai masuk pada pembahasan sifat wajib bagi Alloh dengan kalimat “Fa mimmaa yajibu lillaahi ta’aala ‘isyruuna shifatan…” yang artinya “Maka diantara sifat-sifat yang wajib bagi Alloh adalah 20 sifat... ”. Syaikh Nawawy rh ketika mensyarahi kalimat “mimmaa yajibu…” menjelaskan bahwa yang dimaksud 20 sifat wajib bagi Alloh yang wajib diketahui oleh setiap mu’min mukallaf (balligh) adalah dengan mengetahuinya secara terperinci, adapun sifat-sifat yang wajib adanya pada Alloh swt adalah tak terbatas (laa nihaayata lah..) dan kita hanya diwajibkan untuk mengetahui-sifat-sifat selain sifat wajib 20-adalah secara Ijmaal/garis besar saja…(lihat Kitab Fathul-Majid syarah al-durrul-fariid halaman 5, terbitan Thoha Putra Semarang). Demikian pula penjelasan Syaikh Nawawy rh dalam syarah kitab “Tiijaanuddirory” dengan mengatakan bahwa wajib hukumnya bagi kita ber-I’itiqod (menekadkan) bahwa bagi-Nya (Alloh swt) segala sifat kesempurnaan tanpa batas dan tak terbilang sebagaimana firmanNya “wa laa yuhiithuuna bihi ‘ilman…” yang artinya “dan ilmu mereka tidak bisa meliputi-Nya” monggo lihat di kitabnya halaman 3. Terakhir saya kutip perkataan syaikh Muhammad Hasbulloh rh dalam kitabnya yang berjudul “al-Riyadhul-badii’ah fii ushuliddin wa b’adhi furu’isyari’ah” ketika menutup penjelasan sifat wajib, mustahil dan Jaiz bagi Alloh dengan pernyataan bahwa wajib-adanya-pada Alloh segala sifat kesempurnaan yang layak bagi kemuliyaan Dzat-Nya dan mustahil bagi-Nya segala sifat kekurangan, lihat di kitabnya pada halaman 6…Jadi kesimpulan pertama: TUDUHAN MEREKA ADALAH TIDAK BENAR, para ulama Asy’ariyah tidak membatasi sifat Alloh menjadi hanya 20 atau 21 atau berapapun...saya pribadi ingat betul waktu dites oleh guru saya ketika mempelajari kitab-kitab tersebut, beliau mengajukan pertanyaan jebakan dengan mengatakan “Ada berapa sifat yang wajib bagi Alloh?” kami sepontan menjawab “ada 20” jawab guru saya “kalian salah, yang benar adalah bahwa sifat Alloh tidak dapat dibatasi menjadi hanya 20 sifat tapi Dialah Alloh yang Maushufun bikulli kamaalin wa munazzahun ‘an kulli naqshin Alloh yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan dan bersih dari segala sifat kekurangan ”, adapun sifat wajib yang 20 adalah sifat-sifat yang wajib diketahui secara terperinci oleh setip mukmin mukallaf berikut dalil ‘aqli maupun naqli-nya karena terdapat nashnya dalam al-Quran/Hadits.
2). Sesatkah para ulama Asy’ariyah lantaran menakwilkan ayat-ayat mutasyabihaat? Jawabannya: TIDAK SESAT, mengapa? Karena: Metode takwil telah dicontohkan oleh para Ulama salafusholih dari kalangan Sahabat, Taabi’iin maupun Tabi’uttaabi’iin buktinya adalah sabagai berikut:
1. Imam Ibnu ‘Abbas ra menakwil kata “lissaaq” (betis) dengan “al-syiddah” (kegentingan) sebagaimana di riwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Hatim rh dalam tafsirnya (3366/10) dan Imam al-Thobary rh dalam tafsirnya (197/12)..
2. Imam Ibnu ‘Abbas ra menakwil kata “al-Ityaan” (kedatangan) dengan “Ityaanul-amri” (kedangan perintah) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya (129/7).
3. Imam Ibnu ‘Abbas ra menakwil kata “al-aidy” (tangan) dengan “al-Quwwah” (kekuatan) sebagaimana diriwayatkan dalam tafsir Ibnu Jarir (472/11).
4. Imam Bukhory ra menakwil kata “al-Dhohku” (tertawa) dengan “al-Rohmah” (Rohmat) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Baihaqy rh dalam kitab al-Asmaa washifaat halaman 470 dan 297..
5. Imam Malik ra dan Yahya bin Bakir ra menakwil kata “al-Nuzul” (turun) dengan “al-Nuzulul-Amri” (Turunnya perintah) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abdil-Barr rh dalam kitab Tamhid 143/7, dan Siyyaru A’alam al-Nubala 105/8, dan masih banyak lagi.
Dengan fakta-fakta ini beranikah mereka mensesatkan para ulama ini...????.
Untuk menetapkan tuduhan pensesatan atas ulama Asy’ariyah, para penuduh selalu menggunakan ayat berikut ini:
وما يعلم تأويله إلا الله، والراسخون في العلم يقولون آمنّا به كل من عند ربنا
“Dan tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Alloh, dan orang-orang yang teguh dalam ilmunya mereka berkata kami beriman dengannya, semuanya dari sisi Tuhan kami” wallohu a’alam bimuroodih...Imam Abu Ishaq rh dalam kitabnya yang saya sebutkan di atas menjelaskan bahwa ayat tersebut bukanlah ayat untuk pelarangan takwil tapi malah sebaliknya yaitu bolehnya mentakwil, dalilnya adalah pada kalimat “والراسخون في العلم يقولون آمنّا...” karena salah satu unsur keimanan adalah tashdiq (pembenaran), sedangakan membenarkan sesuatu tidak sah tanpa dibarengi pengetahuan akan sesuatu tersebut, maka hal ini menunjukan bahwa pada ayat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
(والراسخون في العلم يقولون آمنا به) أي: أنهم يعلمونه ويقولون آمنا
(dan orang-orang yang teguh ilmunya berkata kami beriman) yaitu maksudnya: sungguh mereka mengetahui takwilnya oleh karena itu mereka berkata kami beriman...kalimat يعلمونه
pada ayat tersebut disembunyikan seperti firman Alloh swt pada ayat
(والملائكة يدخلون عليهم من كل باب سلام عليكم) أي: يقولون سلام عليكم
(Dan para malaikat memasukinya pada setiap pintu...keselamatan atas kalian) yaitu maksudnya: Para malaikat sambil berkata keselamatan atas kalian, lafadh يقولون pada ayat tersebut di sembunyikan...demikian penjelasan Imam Abu Ishaq rh...
A. Madzhab Tafwidh ma’attanzih (menyerahkan maknanya pada Alloh, sembari mensucikan Alloh dari sifat-sifat makhluk) misal dalam al-Quran/Hadits dinyatakan:
-Alloh istiwa di atas Arsy: Istiwa sebagaimana firmanNya dan dengan makna yang dikehendaki oleh-Nya, tanpa bersentuhan dan bukan menetap atau mendiami, tidak menyatu dan tidak pula berpindah, dan ‘Arasy itu tidaklah memikul-Nya bahkan sebaliknya ‘Arsy dan para malaikat pemikulnyalah yang dipikul oleh kelembutan kekuasaan Alloh serta tunduk patuh dalam genggaman kekuasaan-Nya. (Kami tidak sepakat jika menerjemahkan Istiwa dengan bersemayam, karena bersemayam berarti duduk/mendiami dan tidak ada salafusholeh yang berpemahaman seperti itu)
-Alloh turun pada 1/3 malam terakahir...dst: Turun (nuzul) tapi bukan perpindahan dari atas kebawah
-Alloh datang beserta para malaikat dengan berbaris-baris...dst: Datang tapi kedatangannya bukanlah perpindahan dari suatu tempat ketempat yang lain atau perubahan dari suatu keadaan menuju keadaan yang lain.
-Alloh punya tangan tapi bukan anggota badan, Mata tapi bukan bola mata, akan tetapi ini semua adalah sifat-sifat yang padanya berlaku kaidah tauqifiyah, kita mengatakannya tapi kita meniadakan kaif (tidak bisa dikatakan bagaimana)
B. Madzhab takwil seperti sudah disebutkan di atas
3). Benarkah para ulama Asy’ariyah lebih mengedepankan akal dari pada wahyu...???. Mari kita lihat kembali kitab “al-Isyaroh ilaa Madzhabi Ahlil-haq” ketika Imam Abu Ishaq rh menjelaskan perbedaan antara aliran Qodariyah dengan Madzhab Ahlil-haq (dalam hal ini Madzhab As’ariyah, karena Abu Ishaq adalah salah satu ulama besar dalam bidang ushuluddiin pengikut Abu Hasan al-Asy’ary)...beliau mengatakan bahwa Aliran Qodariyah memposisikan akal sebagai sesuatu yang mempunyai otoritas untuk mewajibkan, dan memberikan penilaian baik maupun buruk. Adapun menurut para ulama Asy’ariyah: Akal tidak punya otoritas untuk mewajibkan, atau menilai baik buruknya sesuatu tapi baik atau buruknya sesuatu itu jika syari’at (wahyu) mengatakan demikian. Dari pernyataan ini jelas bahwa para ulama Asy’ariyah tidak mengedepankan akal dari pada wahyu, bahkan malah sebaliknya..
Semoga tulisan ini bisa menjadi sedikit pecerahan untuk kita semua, aamiin...
Wallohu a’alam bishowaab...
Karawang, 29 March 2010
Presented by al-faqiir ilaa rohmati robbihi
Admin