Thursday, April 1, 2010

Menjawab Tuduhan Pensesatan atas Ulama Asy'ariyah....


SANTRI MENJAWAB TUDUHAN PENSESATAN
ATAS ULAMA ASY’ARIYAH
Bismillaah...Alhamdulillaah...Sholaatuhu wa salaamuhu ‘alaa Rosulillaah wa ‘alaa aalihi wa ashhabihi ajma’iin (wa b’adu).

Imam Abu Ishaq al-Syairozy rh dalam kitabnya yang berjudul “al-Isyaaroh ilaa Madzhabi Ahlil-haq” mengutip sebuah hadits Nabi saw yang maknanya sbb: “Apabila kalangan akhir umat ini telah melaknat para pendahulunya, maka hendaklah orang yang berilmu menampakan ilmunya, sungguh orang yang menyembunyikan ilmu bagaikan orang yang menyembunyikan sesuatu yang telah Alloh swt turunkan atas Muhammad saw”...Atas dasar inilah kami bermaksud sekedar menyambung lidah para ulama Asy’ariyah yang saat ini mereka sering dituduh ber-‘aqidah sesat oleh saudara muslim kita yang lain.

Lalu siapakah gerangan ulama Asy’ariyah itu?, seperti apakah ciri-ciri mereka?...Kami yakin sebagian besar diantara kita pernah belajar dan menghafal Sifat-sifat 20 yang wajib dan yang mustahil bagi Alloh swt, sifat-sifat 4 yang wajib dan yang mustahil bagi para Rosul ‘alaihimussalaam (ams) dan 1 sifat Jaiz (wenang) bagi Alloh swt dan para Rosul ams, menghafal 25 nama para Nabi dan Rosul, 10 nama para Malaikat, nama putra-putri Rosululloh saw dll...itulah diantara kaidah-kaidah/rumusan yang diperkenalkan oleh para ulama Asy’ariyah yang bersumber dari al-Quran maupun Hadits dengan tujuan untuk mempermudah kalangan awam dalam mengenal Alloh swt dan para Rosul-Nya. Namun betapa kagetnya kami ketika membaca artikel-artikel yang banyak sekali bertebaran di dunia maya yang menyatakan secara terang-terangan pensesatannya atas kelompok ulama ini serta  mensejajarkannya dengan kelompok-kelompok sesat semacam Khowarij, M’utazilah, Qodariyah, Jabariyah dan lain-lain. Diantara alasan-yang sejauh ini kami ketahui-dan sering mereka lontarkan bahwa ulama Asy’ariyah sesat oleh karena:
  1. Asy’ariyah telah menetapkan dan membatasi sifat-sifat Alloh swt hanya menjadi 20
  2. Mereka telah malakukan takwil terhadap ayat-ayat/hadits yang mutasyabihaat
  3. Karena mereka lebih mendahulukan akal dari pada wahyu

Berikut ini adalah jawaban dari kami:
1). Untuk menjawab tuduhan pertama, kami menggunakan referensi standard yang biasa dipelajari para santri junior di pondok2 pesantren NU khususnya-yang secara tegas dari awal berdirinya hingga saat ini menyatakan ber’aqidah dengan ‘aqidah Asy’ariyyah/Maturidiyyah-diantaranya adalah: Kitab “al-Durrul-Fariid fii ‘Aqooidi Ahlittauhiid” karya syaikh Ahmad al-Nahrowy rh yang disyarahi oleh syaikh Nawawy al-Bantany rh dengan judul “Fathul-Majiid”. Dari kitab ini kami mendapati penjelasan mereka berdua ketika mulai masuk pada pembahasan sifat wajib bagi Alloh dengan kalimat “Fa mimmaa yajibu lillaahi ta’aala ‘isyruuna shifatan…” yang artinya “Maka diantara sifat-sifat yang wajib bagi Alloh adalah 20 sifat... ”. Syaikh Nawawy rh ketika mensyarahi kalimat “mimmaa yajibu…” menjelaskan bahwa yang dimaksud 20 sifat wajib bagi Alloh yang wajib diketahui oleh setiap mu’min mukallaf (balligh) adalah dengan mengetahuinya secara terperinci, adapun sifat-sifat yang wajib adanya pada Alloh swt adalah tak terbatas (laa nihaayata lah..) dan kita hanya diwajibkan untuk mengetahui-sifat-sifat selain sifat wajib 20-adalah secara Ijmaal/garis besar saja…(lihat Kitab Fathul-Majid syarah al-durrul-fariid halaman 5, terbitan Thoha Putra Semarang). Demikian pula penjelasan Syaikh Nawawy rh dalam syarah kitab “Tiijaanuddirory” dengan mengatakan bahwa wajib hukumnya bagi kita ber-I’itiqod (menekadkan) bahwa bagi-Nya (Alloh swt) segala sifat kesempurnaan tanpa batas dan tak terbilang sebagaimana firmanNya “wa laa yuhiithuuna bihi ‘ilman…” yang artinya “dan ilmu mereka tidak bisa meliputi-Nya” monggo lihat di kitabnya halaman 3. Terakhir saya kutip perkataan syaikh Muhammad Hasbulloh rh dalam kitabnya yang berjudul “al-Riyadhul-badii’ah fii ushuliddin wa b’adhi furu’isyari’ah” ketika menutup penjelasan sifat wajib, mustahil dan Jaiz bagi Alloh dengan pernyataan bahwa wajib-adanya-pada Alloh segala sifat kesempurnaan yang layak bagi kemuliyaan Dzat-Nya dan mustahil bagi-Nya segala sifat kekurangan, lihat di kitabnya pada halaman 6…Jadi kesimpulan pertama: TUDUHAN MEREKA ADALAH TIDAK BENAR, para ulama Asy’ariyah tidak membatasi sifat Alloh menjadi hanya 20 atau 21 atau berapapun...saya pribadi ingat betul waktu dites oleh guru saya ketika mempelajari kitab-kitab tersebut, beliau mengajukan pertanyaan jebakan dengan mengatakan “Ada berapa sifat yang wajib bagi Alloh?” kami sepontan menjawab “ada 20” jawab guru saya “kalian salah, yang benar adalah bahwa sifat Alloh tidak dapat dibatasi menjadi hanya 20 sifat tapi Dialah Alloh yang Maushufun bikulli kamaalin wa munazzahun ‘an kulli naqshin Alloh yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan dan bersih dari segala sifat kekurangan ”, adapun sifat wajib yang 20 adalah sifat-sifat yang wajib diketahui secara terperinci oleh setip mukmin mukallaf berikut dalil ‘aqli maupun naqli-nya karena terdapat nashnya dalam al-Quran/Hadits.
    
2). Sesatkah para ulama Asy’ariyah lantaran menakwilkan ayat-ayat mutasyabihaat? Jawabannya: TIDAK SESAT, mengapa? Karena: Metode takwil telah dicontohkan oleh para Ulama salafusholih dari kalangan Sahabat, Taabi’iin maupun Tabi’uttaabi’iin buktinya adalah sabagai berikut:
1.  Imam Ibnu ‘Abbas ra menakwil kata “lissaaq” (betis) dengan “al-syiddah” (kegentingan) sebagaimana di riwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Hatim rh dalam tafsirnya (3366/10) dan Imam al-Thobary rh dalam tafsirnya (197/12)..
2. Imam Ibnu ‘Abbas ra menakwil kata “al-Ityaan” (kedatangan) dengan “Ityaanul-amri” (kedangan perintah) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya (129/7).    
3. Imam Ibnu ‘Abbas ra menakwil kata “al-aidy” (tangan) dengan “al-Quwwah” (kekuatan) sebagaimana diriwayatkan dalam tafsir Ibnu Jarir (472/11).     
4. Imam Bukhory ra menakwil kata “al-Dhohku” (tertawa) dengan “al-Rohmah” (Rohmat) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Baihaqy rh dalam kitab al-Asmaa washifaat halaman 470 dan 297..   
5. Imam Malik ra dan Yahya bin Bakir ra menakwil kata “al-Nuzul” (turun) dengan “al-Nuzulul-Amri” (Turunnya perintah) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abdil-Barr rh dalam kitab Tamhid 143/7, dan Siyyaru A’alam al-Nubala 105/8, dan masih banyak lagi.
Dengan fakta-fakta ini beranikah mereka mensesatkan para ulama ini...????.
Untuk menetapkan tuduhan pensesatan atas ulama Asy’ariyah, para penuduh selalu      menggunakan ayat berikut ini:
وما يعلم تأويله إلا الله، والراسخون في العلم يقولون آمنّا به كل من عند ربنا
“Dan tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Alloh, dan orang-orang yang teguh dalam ilmunya mereka berkata kami beriman dengannya, semuanya dari sisi Tuhan kami” wallohu a’alam bimuroodih...Imam Abu Ishaq rh dalam kitabnya yang saya sebutkan di atas menjelaskan bahwa ayat tersebut bukanlah ayat untuk pelarangan takwil tapi malah sebaliknya yaitu bolehnya mentakwil, dalilnya adalah pada kalimat “والراسخون في العلم يقولون آمنّا...” karena salah satu unsur keimanan adalah tashdiq (pembenaran), sedangakan membenarkan sesuatu tidak sah tanpa dibarengi pengetahuan akan sesuatu tersebut, maka hal ini menunjukan bahwa pada ayat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
(والراسخون في العلم يقولون آمنا به) أي: أنهم يعلمونه ويقولون آمنا     
(dan orang-orang yang teguh ilmunya berkata kami beriman) yaitu maksudnya: sungguh mereka mengetahui takwilnya oleh karena itu mereka berkata kami beriman...kalimat يعلمونه
pada ayat tersebut disembunyikan seperti firman Alloh swt pada ayat
(والملائكة يدخلون عليهم من كل باب سلام عليكم) أي: يقولون سلام عليكم            
(Dan para malaikat memasukinya pada setiap pintu...keselamatan atas kalian) yaitu maksudnya: Para malaikat sambil berkata keselamatan atas kalian, lafadh يقولون pada ayat tersebut di sembunyikan...demikian penjelasan Imam Abu Ishaq rh...

Ada dua Madzhab besar dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat ini dan kedua-duanya diakui oleh para ulama
A. Madzhab Tafwidh ma’attanzih (menyerahkan maknanya pada Alloh, sembari mensucikan Alloh dari sifat-sifat makhluk) misal dalam al-Quran/Hadits dinyatakan:
-Alloh istiwa di atas Arsy: Istiwa sebagaimana firmanNya dan dengan makna yang dikehendaki oleh-Nya, tanpa bersentuhan dan bukan menetap atau mendiami, tidak menyatu dan tidak pula berpindah, dan ‘Arasy itu tidaklah memikul-Nya bahkan sebaliknya ‘Arsy dan para malaikat pemikulnyalah yang dipikul oleh kelembutan kekuasaan Alloh serta tunduk patuh dalam genggaman kekuasaan-Nya. (Kami tidak sepakat jika menerjemahkan Istiwa dengan bersemayam, karena bersemayam berarti duduk/mendiami dan tidak ada salafusholeh yang berpemahaman seperti itu)
-Alloh turun pada 1/3 malam terakahir...dst: Turun (nuzul) tapi bukan perpindahan dari atas kebawah
-Alloh datang beserta para malaikat dengan berbaris-baris...dst: Datang tapi kedatangannya bukanlah perpindahan dari suatu tempat ketempat yang lain atau perubahan dari suatu keadaan menuju keadaan yang lain.
-Alloh punya tangan tapi bukan anggota badan, Mata tapi bukan bola mata, akan tetapi ini semua adalah sifat-sifat yang padanya berlaku kaidah tauqifiyah, kita mengatakannya tapi kita meniadakan kaif (tidak bisa dikatakan bagaimana)            
B.   Madzhab takwil seperti sudah disebutkan di atas  

3). Benarkah para ulama Asy’ariyah lebih mengedepankan akal dari pada wahyu...???. Mari kita lihat kembali kitab “al-Isyaroh ilaa Madzhabi Ahlil-haq” ketika Imam Abu Ishaq rh menjelaskan perbedaan antara aliran Qodariyah dengan Madzhab Ahlil-haq (dalam hal ini Madzhab As’ariyah, karena Abu Ishaq adalah salah satu ulama besar dalam bidang ushuluddiin pengikut Abu Hasan al-Asy’ary)...beliau mengatakan bahwa Aliran Qodariyah memposisikan akal sebagai sesuatu yang mempunyai otoritas untuk mewajibkan, dan memberikan penilaian baik maupun buruk. Adapun menurut para ulama Asy’ariyah: Akal tidak punya otoritas untuk mewajibkan, atau menilai baik buruknya sesuatu tapi baik atau buruknya sesuatu itu jika syari’at (wahyu) mengatakan demikian. Dari pernyataan ini jelas bahwa para ulama Asy’ariyah tidak mengedepankan akal dari pada wahyu, bahkan malah sebaliknya..

Semoga tulisan ini bisa menjadi sedikit pecerahan untuk kita semua, aamiin...
Wallohu a’alam bishowaab...

Karawang, 29 March 2010
Presented by al-faqiir ilaa rohmati robbihi
Admin

Thursday, February 25, 2010

Husnul-Maqshod fii 'Amalil-Maulid


Husnul-Maqshod fii ‘Amalil-Maulid
Jawaban al-Muhaddits al-Hafidh al-Imam Jalaluddin Assuyuthy terhadap kitab karya Syaikh Tajuddin umar bin Ali Allakhmy Assakandary atau yang terkenal dengan julukan Al-Fakihany (ulama kontemporer madzhab maliky) yang berjudul (Al-Maurud fil-kalaam ‘alaa ‘amalil-maulid) yang menyatakan bahwa Amalan Maulid Adalah Bid’ah Yang Tercela......
Bismillahirrohmaanirrohiim, Al Hamdulillaah, wa  sholaatuhu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa aalihi (wa b’adu) Qoolal-Mushonnifu rohimahullohu wanafa’anaa bi’ulumihii fiddaaroin….
Wa Aquulu..... Dan aku  (yaitu Imam Jalaluddin Assuyuthy) berkata:  Adapun ucapan beliau (Syaikh Fakihany) “Aku tidak mengetahui asal-muasal amalan maulid ini dalam al-Quran maupun sunnah Nabi saw ”, maka jawabanku: Ketiadaan ilmu tidak dapat menyebabkan peniadaan wujud, karena sesungguhnya Imam al-hafidh Abu fadhl Ibnu Hajar rh telah menguraikan tentang asal-muasalnya dari sunnah, sedangkan aku adalah orang kedua yang melakukannya, adapun penjelasannya akan datang setelah ini...lalu ucapan Al-Fakihany “Bahkan ia-Maulid-adalah sebuah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang bathil....” hingga ucapan dia “dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama panutan”, jawabanku : Sesungguhnya-amalan maulid ini-telah dilakukan oleh seorang penguasa yang adil lagi ‘alim, dan mereka meniatkannya semata-mata untuk mendekatkan diri pada Alloh, telah berkumpul dengan mereka para ulama dan orang-orang soleh tanpa satupun yang mengingkarinya, dan telah merestuinya Imam al-Muhaddits Ibnu Dihyah rh bahkan beliau telah menulis sebuah kitab mengenai maulid Nabi saw ini, inilah mereka para ulama panutan dalam agama yang merestui dan menetapinya serta tidak mengingkari amalan maulid Nabi saw. Kemudian ucapan dia “Dan tidak disunnahkan karena hakikat kesunnahan adalah apa-apa yang dikehendaki oleh syar’a”, jawabanku : Sesungguhnya dalam mencari kesunahan adakalanya dengan Nash-yang jelas-adakalanya pula dengan qiyas, dan maulid ini walaupun tidak ada nashnya secara jelas tapi baginya qiyas terhadap hukum asal yang akan aku jelaskan nanti...dia (al-Fakihany) berkata “dan tidak bisa menjadi mubah, karena kebid’ahan dalam agama bukan suatu kebolehan berdasarkan ijam’a kaum musliminjawaban Imam Jalaluddin: Sebuah perkataan yang tidak diucapkan seorang muslim, karena sesungguhnya bid’ah itu tidak hanya terbatas pada bid’ah yang haram atau makruh, tapi adakalanya bersifat mubah, mandub (dianjurkan) dan bahkan wajib, dalam hal ini telah berkata Imam Nawawy rh dalam kitab ”Tahdzib al-asmaa wal-lughot” bahwasannya “Bid’ah dalam agama adalah mengada-adakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rosululloh saw dan ia terbagi atas bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qobihah (buruk)”, berkata pula syaikh ‘Izzuddin ibnu ‘abdissalaam rh dalam kitab “al-qowa’id” bahawasannya “Bid’ah itu terbagi atas bid’ah yang wajib, haram, mandub, makruh dan mubah, jika menurut kaidah syar’a masuk pada kaidah yang wajib maka wajiblah hukumnya, namun jika haram maka haramlah hukumnya dan seterusnya....”. Telah meriwayatkan pula Imam Baihaqy rh dengan sanadnya dalam kitab “Manaqib al-Syafi’i” dari Imam Syafi’i ra bahwasannya Perkara-perkara yang baru itu terbagi kedalam dua bagian (1). Segala sesuatu yang baru yang menyelisihi Kitab, Sunnah, Atsar atau Ijm’a, maka inilah bid’ah dholalah (sesat), (2) Segala sesuatu yang baru yang tidak menyelisihi Kitab, Sunnah, Atsar atau Ijm’a, maka inilah dia bid’ah yang tidak tercela, hal ini berdasarkan riwayat sayyidina Umar ra mengenai sholat tarawih di bulan Romadhon (Sebaik-baik bid’ah adalah ini-yaitu tarawih berjama’ah)……dst
          Syaikhul-Islam al-Hafidh Abu Fadhl Ibnu Hajar ditanya mengenai amalan Maulid, lalu beliau menjawabnya sebagai berikut: Hukum asal amalan Maulid adalah bid’ah yang tidak diambil dari seorangpun dari kalangan salafusholih pada kurun 3 abad pertama hijriyah, tetapi walaupun begitu barang siapa yang meniatkan amalan maulid pada tujuan-tujuan yang baik dan menjauhi kebalikannya maka jadilah amalan ini sebagai bid’ah hasanah, namun jika sebaliknya maka jadilah ia sebagai bid’ah dholalah. Dan telah jelas bagiku dasar pengambilannya dari nash yang tsabit pada kitab Shohihain (Bukhory-Muslim) bahwa sesungguhnya Nabi saw pada saat tiba dikota madinah beliau mendapati orang-orang Yahudy berpuasa pada hari ‘Asyuro lalu Nabi saw bertanya pada mereka, dan mereka menjawab bahwa pada hari itu Alloh telah menyelamatkan Nabi Musa as dengan menenggelamkan Firaun maka puasa kami adalah sebagai ungkapan syukur pada Alloh. Dari hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa bersyukur pada Alloh atas karunia-Nya dapat dilakukan pada hari dimana datangnya suatu n’imat atau tertolaknya suatu bencana, dan ungkapan kesyukuran tersebut dapat dilakukan secara berulang pada setiap tahunnya. Bersyukur pada Alloh dapat berupa Ibadah seperti sujud, puasa, sodaqoh atau membaca al-Quran...Maka, ken’imatan manakah yang lebih agung dari n’imat dilahirkannya Nabi saw yang mulia pada hari itu sebagai Nabi pembawa rahmat?…Adapun amalan yang pantas dilakukan dalam menyambut hari kelahiran beliau saw adalah dengan apa saja yang dapat difahami sebagai ungkapan syukur pada Alloh berupa pembacaan al-Quran, memberi makanan, shodaqoh, mendendangkan sesuatu berupa pujian nabawiyah dan kezuhudan yang dapat menggerakan hati pada amal kebaikan untuk akhirat.Adapun ungkapan syukur yang diiringi dengan nyanyian yang melupakan pada Alloh maka hal ini hukumnya bukan mubah lagi bahkan haram atau makruh maka harus dicegah, tidak pula menjadi khilaful-aula..(demikian penjelasan Imam Ibnu Hajar rh)
          Aku berkata (Imam Jalaluddin rh): Telah jelas pula bagiku dasar pengambilannya dari sumber yang lain, yaitu berdasarkan riwayat Imam Baihaqy rh dari Anas ra sesungguhnya Nabi saw Ber’aqiqah atas dirinya setelah kenabian beliau, padahal telah jelas riwayat bahwa sesungguhnya kakek beliau saw Abdul Mutholib telah ber’aqiqah untuknya saw pada hari ketujuh kelahiran beliau saw sedangkan ‘aqiqah tidak diulangi untuk yang kedua kalinya..Hal ini menunjukan bahwa Nabi saw sebenarnya sedang mengungkapkan rasa syukur beliau saw atas diutusnya beliau saw sebagai Rohmatan lil’aalamiin, dan pensyari’atan bagi ummatnya sebagaimana beliau berholawat atas dirinya. Oleh karena itu dianjurkan (mustahab: disukai) bagi kita untuk menampakan kesyukuran atas kelahiran beliau saw dengan berkumpul dan menikmati hidangan atau dengan yang selainnya berupa perbuatan yang mendekatkan diri pada Alloh dan menampakan kebahagian…..
          Aku (Imam Jalaluddin rh) meriwayatkan dari Imaamul-qurro al-hafidh Syamsuddin ibnu al-Jazry rh berkata dalam kitabnya (Arofutt’ariif bilmaulidisyariif) : Telah diriwayatkan dalam sebuah mimpi bahwa sesungguhnya Abu lahab setelah meninggalnya di tanya: Bagaimana keadaanmu? Abu lahab menjawab: di neraka, akan tetapi diringankan siksaan atas diriku pada setiap malam senin dan aku menghisap sedikit air diantara jari-jemariku ini-ia menunjuk ujung jarinya-, hal ini karena aku telah membebaskan budakku Tsuwaibah ketika dia mengabariku akan kelahiran Nabi saw dan karena -kuizinkan pula ia- menyusuinya....Oleh karena itu kalau Abu lahab saja yang kafir dan Quran turun untuk mencelanya mendapatkan keringanan karena kebahagiaannya pada malam kelahiran Nabi saw, maka apatah lagi kalau yang berbahagia atas kelahiran beliau saw itu adalah dari kalangan ummatnya yang mencurahkan segenap daya upaya untuk mencintai Nabi saw..maka tidak lain balasannya dari Alloh adalah surga na’im.
          Dan Berkata al-Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin addimasyqy dalam kitabnya (Maurud al-shody fii maulidil-haady ) : Telah shahih riwayat -yang memberitakan- bahwasannya Abu lahab diringankan penyiksaannya di neraka setiap hari Senin oleh sebab telah membebaskan budaknya Tsuwaibah karena bahagia atas kelahiran Nabi saw, kemudian beliau al-Hafidh ber-Nasyid:

Manakala orang kafir ini (Abu lahab)
Yang Al Quran datang untuk mencelanya, dan
Telah binasa pula kedua tangannya dalam api neraka jahim lagi kekal
Namun pada setiap hari senin senantiasa diringankan siksanya
Oleh karena bahagianya ia akan kelahiran Muhammad saw
Maka bagaimana dengan hamba yang
Panjang umurnya dan senantiasa bahagia atas hari kelahiran Muhammad saw
Lalu mati dalam keadaan sebagai Muwahhid (yang meng-esa-kan Alloh)

          Walloohu a’alam bishowaab dan semoga bermanfaat…..…….
 

Wa lanal-busyro bis’adin
Mustamirril-laisa yanfad
Haitsu Uutiinaa ‘athooan
Jama’al-fakhrol-Muabbad

Yaa Rosulalloohi Ahlan...
Bika Inna Bika Nus’ad
Wa bijaahih yaa Ilaahii Jud wa balligh kulla maqshod

Yaa Nabi salam ‘alaika..
Yaa Rosul salam ‘alaika…yaa habib salam ‘alaika
Sholawatulloh ‘alaika..

(Simthudduror lil-habib al-‘allaamah Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi)

Sunday, February 14, 2010

Pembahasan Asma wa Shifaat


Bismillaahirrohmaanirrohiim..Alhamdulillaah, sholaatuhu wasalaamuhu ‘alaa Rosuulillaah, wa ‘alaa aalihi wa shohbihi (wa b’adu).


Pembahasan Shifat (Alloh) Secara Umum
Keseluruhan (Para ulama madzhab Hanbaly dan Ahli hadits, Asy’ariyah dan Maturidiyah) aqidah madzhab mereka adalah: Sesungguhnya Allah Ta’aalaa bagi-Nya nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang mulia, bersih dari segala sifat kekurangan. Sesungguhnya Dia yang Maha suci adalah Esa dalam nama dan sifat-sifat-Nya  dan tidak menyerupai makhluknya dalam hal apapun sebagaimana sabda-Nya
Artinya: Tiada sesuatupun yang menyerupai Alloh,Dia Alloh adalah Dzat yang Maha Mendengar (bukan dengan telinga) juga Maha Melihat (bukan dengan bola mata). Dan tidaklah ada sesuatu yang setara dengan Alloh.

Diantara sesuatu yang menunjukan bahwa Alloh tidak menyerupai makhluk-Nya adalah: Bahwa  Dia bukanlah Jism (Tubuh), bukan Jauhar (Element/unsur) bukan pula ‘Ardh (Benda). Dan sesungguhnya sifat-Nya tidaklah tersusun atas bagian-bagian, anggota badan dan tidak pula berupa alat dari anggota badan. Karena kalau seandainya Dia berupa Jism maka pasti serupa dengan makhluk-Nya..Maha suci Alloh dari menyerupai makhluk-Nya lagi Maha Mulia dan Maha Besar.
Adapun Yang dimaksud dengan Jism adalah: Sesuatu yang tersusun atas 3 besaran (Panjang, Lebar dan Kedalaman)  sebagaimana Imam Ahmad rodliyallohu ‘anhu dan Para Imam lainya mengatakan bahwasannya Alloh Subhanahu wa-Ta’ala bersih dari al-Hajm, al-tasyakhush, al-katsaafah, Attasyakkul, dan Attashowwur (benda, penampakan, ketebalan, penghayalan dan penggambaran) yang merupakan kekhususan yang dimiliki oleh Jism. Dan berikut ini adalah sebagian ucapan para ulama Madzhab Hanbaly dan Ahlulhadist yang menafikan (Meniadakan) sifat Jismiyah dari Alloh swt.  

1.      Ucapan Imam Abu Hanifah ra (wafat 150H), beliau berkata dalam kitabnya Al-fiqhul akbar
halaman 2. ”Dan sifat-sifat Alloh keseluruhannya tidaklah serupa dengan sifat-sifat makhluk, Dia mengetahui tapi tak seperti pengetahuan kita, Berkuasa tapi tak seperti kekuasanya kita, melihat tapi tak seperti penglihatan kita, bersabda tapi tak seperti pembicaran kita, mendengar tapi tak seperti pendengaran kita, Kita berbicara dengan alat dan huruf sedangkan Alloh bersabda tanpa huruf maupun alat karena huruf dan alat adalah makhluk, sedangkan sabda-Nya (Kalam Alloh) bukanlah makhluk. Dia adalah sesuatu tapi tak seperti sesuatu yang lain, yaitu Bukan jism, bukan Jauhar, bukan ‘Ardh, tak ada batasan maupun lawan bagi-Nya, tak ada pula sesuatu yang serupa dan menyamai-Nya” Imam Abu Hanifah juga berkata “ dan kami mensifati-Nya sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri; Esa, yang bergantung pada-Nya segala sesuatu, tak beranak dan tidak diperanakan, dan tak ada seorangpun yang setara dengan-Nya, Hidup, terus-menerus mengurus makhluk-Nya, Maha berkuasa, Maha mendengar, Maha melihat dan Maha mengetahui, Tangan Alloh diatas tangan-tangan mereka (QS.Alfath), Tangan yang tidak sebagaimana tangan-tangan makhluk-Nya, tidak pula berupa anggota badan, bahkan Dialah Sang pencipta tangan-tangan anggota badan itu”   (As-Syarhul Muyassar ‘alal fiqhainil akbar wal-ashgor I : 159)

2.      Ucapan Imam Ahmad bin Hanbal ra (wafat 241H ) yang disebutkan dalam kitab I’itiqod al-Imam
Almubajjal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal karya Abi fadhl Attamimi dimana beliau  tercatat pada akhir kitab “thobaqot al-hanaabilah” : bahwasannya “Imam Ahmad telah mengingkari orang yang berkata bahwa dzat Alloh adalah jism, dan beliau berkata : Sesungguhnya nama-nama itu diambil menurut syari’ah dan bahasa, sedangkan ahli bahasa mendefinisikan nama ini (yaitu jism) sebagai sesuatu yang mempunyai panjang, lebar, ketinggian, bersusun serta berbentuk. Adapun Alloh Subhanahu wa-Ta’ala adalah terkecualikan (Maha suci) dari semua hal tersebut dan tidak boleh mengatakan-Nya jism, karena tidak ada dasarnya dalam Syari’ah, oleh sebab itu hukumnya bathil (mengidentikan Alloh sebagai jism)” dalam kitab yang sama halaman 32, Abu fadhl Attamimi berkata “ dan Madzhab Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal ra adalah: Sesunggahnya Alloh ‘Azza waJalla mempunyai wajah tapi tidak serupa gambar yang bisa terbayangkan tidak pula seperti bentuk yang bisa terlukiskan, tapi Wajah-Nya adalah sebagaimana firman-Nya “Segala sesuatu akan musnah kecuali wajah-Nya” barang siapa mengubah maknanya berarti telah menyimpang dari agama, dan menurut beliau (Imam Ahmad ra) bahwa yang dimaksud wajah adalah secara hakikat bukan majas. Wajah-Nya adalah kekal, dan merupakan sifat yang tidak akan pernah musnah. Barang siapa mendakwahkan bahwa wajah Alloh adalah diri-Nya maka sungguh ia telah menyimpang, barang siapa mengubah maknanya maka ia telah kafir..Dan yang dimaksud makna wajah oleh beliau (Imam Ahmad ra) bukanlah makna jism, bukan pula gambar/bentuk yang dapat terlukiskan/terbayangkan, barang siapa mengatakan hal ini maka sungguh ia telah melakukan bid’ah “….Walloohu a’alam bishshowaab (diterjemahkan dari buku “Al-Minhajiyyatul’aammah fil-‘aqiidah wal-fiqhi wassuluuk wal-i’ilaam biannal-asy’ariyyata wal-maturidiyyata min ahlissunnah” karya syaikh Abdul Fattah bin sholih qudais al-yaafi’ii)

                                            Ditahqiq oleh alfaqir ilalloh Alhabib Seif Alwi bin Muhammad Ba-Alawy