Thursday, February 25, 2010

Husnul-Maqshod fii 'Amalil-Maulid


Husnul-Maqshod fii ‘Amalil-Maulid
Jawaban al-Muhaddits al-Hafidh al-Imam Jalaluddin Assuyuthy terhadap kitab karya Syaikh Tajuddin umar bin Ali Allakhmy Assakandary atau yang terkenal dengan julukan Al-Fakihany (ulama kontemporer madzhab maliky) yang berjudul (Al-Maurud fil-kalaam ‘alaa ‘amalil-maulid) yang menyatakan bahwa Amalan Maulid Adalah Bid’ah Yang Tercela......
Bismillahirrohmaanirrohiim, Al Hamdulillaah, wa  sholaatuhu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa aalihi (wa b’adu) Qoolal-Mushonnifu rohimahullohu wanafa’anaa bi’ulumihii fiddaaroin….
Wa Aquulu..... Dan aku  (yaitu Imam Jalaluddin Assuyuthy) berkata:  Adapun ucapan beliau (Syaikh Fakihany) “Aku tidak mengetahui asal-muasal amalan maulid ini dalam al-Quran maupun sunnah Nabi saw ”, maka jawabanku: Ketiadaan ilmu tidak dapat menyebabkan peniadaan wujud, karena sesungguhnya Imam al-hafidh Abu fadhl Ibnu Hajar rh telah menguraikan tentang asal-muasalnya dari sunnah, sedangkan aku adalah orang kedua yang melakukannya, adapun penjelasannya akan datang setelah ini...lalu ucapan Al-Fakihany “Bahkan ia-Maulid-adalah sebuah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang bathil....” hingga ucapan dia “dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama panutan”, jawabanku : Sesungguhnya-amalan maulid ini-telah dilakukan oleh seorang penguasa yang adil lagi ‘alim, dan mereka meniatkannya semata-mata untuk mendekatkan diri pada Alloh, telah berkumpul dengan mereka para ulama dan orang-orang soleh tanpa satupun yang mengingkarinya, dan telah merestuinya Imam al-Muhaddits Ibnu Dihyah rh bahkan beliau telah menulis sebuah kitab mengenai maulid Nabi saw ini, inilah mereka para ulama panutan dalam agama yang merestui dan menetapinya serta tidak mengingkari amalan maulid Nabi saw. Kemudian ucapan dia “Dan tidak disunnahkan karena hakikat kesunnahan adalah apa-apa yang dikehendaki oleh syar’a”, jawabanku : Sesungguhnya dalam mencari kesunahan adakalanya dengan Nash-yang jelas-adakalanya pula dengan qiyas, dan maulid ini walaupun tidak ada nashnya secara jelas tapi baginya qiyas terhadap hukum asal yang akan aku jelaskan nanti...dia (al-Fakihany) berkata “dan tidak bisa menjadi mubah, karena kebid’ahan dalam agama bukan suatu kebolehan berdasarkan ijam’a kaum musliminjawaban Imam Jalaluddin: Sebuah perkataan yang tidak diucapkan seorang muslim, karena sesungguhnya bid’ah itu tidak hanya terbatas pada bid’ah yang haram atau makruh, tapi adakalanya bersifat mubah, mandub (dianjurkan) dan bahkan wajib, dalam hal ini telah berkata Imam Nawawy rh dalam kitab ”Tahdzib al-asmaa wal-lughot” bahwasannya “Bid’ah dalam agama adalah mengada-adakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rosululloh saw dan ia terbagi atas bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qobihah (buruk)”, berkata pula syaikh ‘Izzuddin ibnu ‘abdissalaam rh dalam kitab “al-qowa’id” bahawasannya “Bid’ah itu terbagi atas bid’ah yang wajib, haram, mandub, makruh dan mubah, jika menurut kaidah syar’a masuk pada kaidah yang wajib maka wajiblah hukumnya, namun jika haram maka haramlah hukumnya dan seterusnya....”. Telah meriwayatkan pula Imam Baihaqy rh dengan sanadnya dalam kitab “Manaqib al-Syafi’i” dari Imam Syafi’i ra bahwasannya Perkara-perkara yang baru itu terbagi kedalam dua bagian (1). Segala sesuatu yang baru yang menyelisihi Kitab, Sunnah, Atsar atau Ijm’a, maka inilah bid’ah dholalah (sesat), (2) Segala sesuatu yang baru yang tidak menyelisihi Kitab, Sunnah, Atsar atau Ijm’a, maka inilah dia bid’ah yang tidak tercela, hal ini berdasarkan riwayat sayyidina Umar ra mengenai sholat tarawih di bulan Romadhon (Sebaik-baik bid’ah adalah ini-yaitu tarawih berjama’ah)……dst
          Syaikhul-Islam al-Hafidh Abu Fadhl Ibnu Hajar ditanya mengenai amalan Maulid, lalu beliau menjawabnya sebagai berikut: Hukum asal amalan Maulid adalah bid’ah yang tidak diambil dari seorangpun dari kalangan salafusholih pada kurun 3 abad pertama hijriyah, tetapi walaupun begitu barang siapa yang meniatkan amalan maulid pada tujuan-tujuan yang baik dan menjauhi kebalikannya maka jadilah amalan ini sebagai bid’ah hasanah, namun jika sebaliknya maka jadilah ia sebagai bid’ah dholalah. Dan telah jelas bagiku dasar pengambilannya dari nash yang tsabit pada kitab Shohihain (Bukhory-Muslim) bahwa sesungguhnya Nabi saw pada saat tiba dikota madinah beliau mendapati orang-orang Yahudy berpuasa pada hari ‘Asyuro lalu Nabi saw bertanya pada mereka, dan mereka menjawab bahwa pada hari itu Alloh telah menyelamatkan Nabi Musa as dengan menenggelamkan Firaun maka puasa kami adalah sebagai ungkapan syukur pada Alloh. Dari hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa bersyukur pada Alloh atas karunia-Nya dapat dilakukan pada hari dimana datangnya suatu n’imat atau tertolaknya suatu bencana, dan ungkapan kesyukuran tersebut dapat dilakukan secara berulang pada setiap tahunnya. Bersyukur pada Alloh dapat berupa Ibadah seperti sujud, puasa, sodaqoh atau membaca al-Quran...Maka, ken’imatan manakah yang lebih agung dari n’imat dilahirkannya Nabi saw yang mulia pada hari itu sebagai Nabi pembawa rahmat?…Adapun amalan yang pantas dilakukan dalam menyambut hari kelahiran beliau saw adalah dengan apa saja yang dapat difahami sebagai ungkapan syukur pada Alloh berupa pembacaan al-Quran, memberi makanan, shodaqoh, mendendangkan sesuatu berupa pujian nabawiyah dan kezuhudan yang dapat menggerakan hati pada amal kebaikan untuk akhirat.Adapun ungkapan syukur yang diiringi dengan nyanyian yang melupakan pada Alloh maka hal ini hukumnya bukan mubah lagi bahkan haram atau makruh maka harus dicegah, tidak pula menjadi khilaful-aula..(demikian penjelasan Imam Ibnu Hajar rh)
          Aku berkata (Imam Jalaluddin rh): Telah jelas pula bagiku dasar pengambilannya dari sumber yang lain, yaitu berdasarkan riwayat Imam Baihaqy rh dari Anas ra sesungguhnya Nabi saw Ber’aqiqah atas dirinya setelah kenabian beliau, padahal telah jelas riwayat bahwa sesungguhnya kakek beliau saw Abdul Mutholib telah ber’aqiqah untuknya saw pada hari ketujuh kelahiran beliau saw sedangkan ‘aqiqah tidak diulangi untuk yang kedua kalinya..Hal ini menunjukan bahwa Nabi saw sebenarnya sedang mengungkapkan rasa syukur beliau saw atas diutusnya beliau saw sebagai Rohmatan lil’aalamiin, dan pensyari’atan bagi ummatnya sebagaimana beliau berholawat atas dirinya. Oleh karena itu dianjurkan (mustahab: disukai) bagi kita untuk menampakan kesyukuran atas kelahiran beliau saw dengan berkumpul dan menikmati hidangan atau dengan yang selainnya berupa perbuatan yang mendekatkan diri pada Alloh dan menampakan kebahagian…..
          Aku (Imam Jalaluddin rh) meriwayatkan dari Imaamul-qurro al-hafidh Syamsuddin ibnu al-Jazry rh berkata dalam kitabnya (Arofutt’ariif bilmaulidisyariif) : Telah diriwayatkan dalam sebuah mimpi bahwa sesungguhnya Abu lahab setelah meninggalnya di tanya: Bagaimana keadaanmu? Abu lahab menjawab: di neraka, akan tetapi diringankan siksaan atas diriku pada setiap malam senin dan aku menghisap sedikit air diantara jari-jemariku ini-ia menunjuk ujung jarinya-, hal ini karena aku telah membebaskan budakku Tsuwaibah ketika dia mengabariku akan kelahiran Nabi saw dan karena -kuizinkan pula ia- menyusuinya....Oleh karena itu kalau Abu lahab saja yang kafir dan Quran turun untuk mencelanya mendapatkan keringanan karena kebahagiaannya pada malam kelahiran Nabi saw, maka apatah lagi kalau yang berbahagia atas kelahiran beliau saw itu adalah dari kalangan ummatnya yang mencurahkan segenap daya upaya untuk mencintai Nabi saw..maka tidak lain balasannya dari Alloh adalah surga na’im.
          Dan Berkata al-Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin addimasyqy dalam kitabnya (Maurud al-shody fii maulidil-haady ) : Telah shahih riwayat -yang memberitakan- bahwasannya Abu lahab diringankan penyiksaannya di neraka setiap hari Senin oleh sebab telah membebaskan budaknya Tsuwaibah karena bahagia atas kelahiran Nabi saw, kemudian beliau al-Hafidh ber-Nasyid:

Manakala orang kafir ini (Abu lahab)
Yang Al Quran datang untuk mencelanya, dan
Telah binasa pula kedua tangannya dalam api neraka jahim lagi kekal
Namun pada setiap hari senin senantiasa diringankan siksanya
Oleh karena bahagianya ia akan kelahiran Muhammad saw
Maka bagaimana dengan hamba yang
Panjang umurnya dan senantiasa bahagia atas hari kelahiran Muhammad saw
Lalu mati dalam keadaan sebagai Muwahhid (yang meng-esa-kan Alloh)

          Walloohu a’alam bishowaab dan semoga bermanfaat…..…….
 

Wa lanal-busyro bis’adin
Mustamirril-laisa yanfad
Haitsu Uutiinaa ‘athooan
Jama’al-fakhrol-Muabbad

Yaa Rosulalloohi Ahlan...
Bika Inna Bika Nus’ad
Wa bijaahih yaa Ilaahii Jud wa balligh kulla maqshod

Yaa Nabi salam ‘alaika..
Yaa Rosul salam ‘alaika…yaa habib salam ‘alaika
Sholawatulloh ‘alaika..

(Simthudduror lil-habib al-‘allaamah Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi)

No comments: